Senin, 20 Desember 2010

Mulyono : Cetak Ratusan Ijazah “Paket”


Mengelola Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) menjadi bagian dari upayanya ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Apalagi, hingga kini masih banyak anak-anak yang putus sekolah, karena terbentur biaya. Mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Itulah yang membuat Mulyono (58) bertekat semampunya mengelola PKBM Kasih Ibu Wijaya Kusuma di RT 14 Kelurahan Payo Silincah, Kecamatan Jambi Timur. Membuka sentra belajar di luar sekolah dan telah mencetak ratusan ijazah mulai dari ijazah paket A, paket B dan Paket C.

Mengajar anak-anak yang putus sekolah tentunya jauh berbeda dengan mengajar anak yang di didik di sekolah yang belajar setiap hari. Karena daya tangkap dari siswa PKBM tidak sama dengan daya tangkap siswa. Ini lebih disebabkan karena rata-rata usia mereka sebagian besar dewasa yang bukan hanya memikirkan pelajaran tapi lebih memikirkan keluarga dan masalah perekonomian.

Untuk mengelola sebuah sanggar belajar mengajar dibutuhkan kesabaran. Bagaimana pola mengajar yang diterapkan, dan apa suka duka mengelola PKBM. Berikut bincang-bincang Media Jambi dengan Mulyono pengelola salah satu PKBM di Kota Jambi sejak tahun 2001, beberapa waktu lalu.

Mengapa anda tertarik membuka PKBM ?
Sebelumnya saya melihat di lingkungan ini banyak sekali anak-anak yang hanya bermain ketika jam sekolah. Lantas saya tanya mengapa tidak sekolah, mereka mengaku ingin sekolah tapi orang tua tidak memiliki biaya. Karena itulah saya bertekad ikut membantu mereka sekaligus mencerdaskan anak-anak sebagai aset masa depan bangsa.
Lalu apa yang anda lakukan?
(terdiam sejenak…) Melihat kenyataan itu, esok harinya saya mendatangi Dinas Pendidikan Kota Jambi dan mengajukan permohonan membuka PKBM ditempat ini. Dengan dasar banyak anak-anak yang putus sekolah karena terbentur biaya. Dan setelah persyaratan diajukan permohonan diterima. Kebetulan ada sebuah ruangan yang dulu saya jadikan tempat melukis ya saya jadikan sebuah kelas.

Berapa iuran setiap siswa yang belajar?
Bagi peserta paket A (setingkat SD) dan paket B (setingkat SMP) gratis sedangkan peserta paket C dikenakan iuran Rp 15.000/bulan. Uang tersebut digunakan untuk membayar honor tutor yang mengajar tiga kali dalam seminggu selama satu tahun. Setelah belajar satu tahun ada ujian yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan guna memperoleh ijazah. Dan ijazah paket ini bisa digunakan untuk mencari kerja, atau melanjutkan pendidikan. Sanggar ini juga pernah dijadikan percontohan PKBM di Kota Jambi tahun 2006 lalu.

Sejak berdiri hingga saat ini sudah berapa banyak anak didik yang tamat?
Wah… cukup banyak. (sambil membuka buku agenda) dia mengatakan sudah ada 300 siswa yang tamat. Dan ada sebagian dari mereka yang melanjutkan keperguruan tinggi. Dari ratusan yang tamat itu ada juga Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai perusahaan. Proses belajar mengajar dilakukan pada malam hari sehingga tidak mengganggu aktivitas kerja disiang hari. Saat ini saja ada 80 orang yang sedang mengikuti proses belajar mengajar.

Siapa saja yang belajar di PKBM?
Yang belajar di PKBM umumnya mereka yang putus sekolah karena terbentur biaya. Sebagai syarat masuk yakni mereka harus memiliki rapor minimal kelas IV untuk paket A, kelas II untuk paket B dan C. Ada juga mereka yang tidak lulus UN karena malu dengan teman-teman.

Selain membuka PKBM untuk anak putus sekolah apalagi kegiatan?
Ditempat ini ada taman bacaan masyarakat (TBM) yang merupakan perpustakaan kecil. Ada aneka jenis buku-buku mulai dari informasi tentang sekolah peluang usaha, majalah dan lain-lain. Jadi masyarakat bisa menambah ilmu pengetahuan. Bahkan, sentra belajar miliknya sering mendapat kunjungan mendadak dari berbagai PKBM yang ada dari daerah lain.

Bagaimana suka dukanya
Namanya juga mengajar orang yang sudah dewasa tentu banyak suka-dukanya. Seperti untuk menangkap pelajaran agak sulit, siswa jarang masuk, karena kesibukan. Perlu berulang-ulang untuk menjelaskannya. Jadi seorang tutor harus sabar menghadapinya. Sedangkan modul yang diajarkan sesuai dengan kurikulum dari Diknas.

Apa harapan anda ke depan?
Selain membuka sentra belajar bagi warga yang putus sekolah juga membina anak-anak usia dini (PAUD). PAUD di bawah binaan saya tahun lalu berhasil menjadi juara tingkat provinsi pada perlombaan melukis. (mas)

Minggu, 14 November 2010

H Afiun Nasution : Ilmu Agama, Tongkat di Hari Tua


DARI kejauhan, terlihat sesosok lelaki tua tengah duduk santai di teras rumah. Sejak lima tahun lalu, dia menderita stroke hingga aktivitasnya menjadi sangat terbatas. H Afian Nasution (75), penceramah kondang yang digandrungi ibu-ibu dan majelis taklim ini, hanya mengisi hari tua dengan mengaji. Sambil mengajar anak didiknya untuk terus berdakwah di jalan Allah.
Pagi itu, Kamis (11/11), saat Media Jambi bertandang kerumahnya di kawasan Thehok Kota Jambi, wajah Pak Nasution—begitu dia biasa dipanggil masih terlihat cerah. Diusia senja, ingatannya masih sangat jelas. Suaranyapun masih terdengar lantang saat mengurai perjalanan hidupnya. Dari seorang anak kampung, hingga menjadi penceramah tenar di Jambi hingga provinsi tetangga.
Mengawali bincang-bincang, pria kelahiran Sumatera Utara 75 tahun silam ini mengaku, kesibukannya berdakwah membuat dia lupa menjaga kesehatan. Hingga akhirnya, dia harus menjalani hari tua dalam kondisi sakit. Bahkan untuk berdiri lamapun, dia mengaku tidak sanggup lagi.
“Karena asyik berdakwah kesana kemari, bapak sampai dak menghiraukan lagi kesehatan. Tapi Insya Allah, semua ini ada hikmahnya. Mengajarkan Bapak untuk terus bersyukur pada Allah,” terang suami dari Sri Sutari ini.
Layaknya seorang anak kampung, dia telah mendapat pendidikan agama sejak kecil dari kedua orang tuanya. Di pagi hari, dia bersekolah dasar, dilanjutkan sekolah di Madrasah pada sore hari. Walau bukan berasal dari keluarga pendakwah, namun rasa fanatik beragama telah ditanamkan sejak diri. “Kata orang tua saya, ilmu agama itulah tongkat kita jika sudah tua nanti,” pesannya.
Diwaktu muda, dia telah mulai memberi ceramah di masjid-masjid sekitar rumah di kampungnya. Setelah menyelesaikan Sekolah Guru Atas tahun 1956 di Medan, dia merantau ke Kota Jambi. Panggilan hati untuk berdakwah ternyata diteruskannya di Jambi. “Sudah panggilan hati bapak, untuk berdakwah sampai tua,” sambung ayah empat anak ini.
Cita-citanyapun menjadi kenyataan. Tidak hanya di Kota Jambi. Dia bahkan sering diundang ke Kerinci, Palembang hingga Padang, Sumatera Barat. Berkecimpung di dunia pendidikan juga telah dilakoninya. Sebut saja, Kepala SMP Bngko tahun 1958, Kepala SMP Muarosabak, Kepala SMPN4 Kota Jambi tahun 1969 dan Pegawai di Departemen P&K Kota tahun 1974. Tahun 1977, dia juga pernah bekerja di Kantor Departemen Agama Kota Madya. Dilanjutkan menjadi pengawas SMA di Provinsi Jambi tahun 1982. “Baru tahun 1996 lalu saya pensiun. Sekarang tinggal menikmati buah dari masa muda lalu,” ungkap ayah Evi Herman, Asniati, Rahmawati dan Hardiani ini.
Asam garam pengalaman dan suka duka berdakwah telah dirasakannya. Satu prinsip yang sangat dipegang teguh, mencari rezeki meskipun kecil, yang terpenting halal. “Insya Allah, apa yang didapat akan menjadi baik bagi keluarga,” imbuhnya.
Bahkan sering, dia harus menempuh perjalanan jauh ketika diundang berceramah. Walau demikian, dia tetap harus memenuhi undangan, dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan agama yang dimilikinya. Pernah suatu hari, dia diundang untuk memberi ceramah. Karena dia tidak pernah meminta uang atas ceramahnya, dia justru diberi amplop. Naasnya, amplop yang diterima ternyata kosong. “Seperti itu dianggap romantika dakwah. Kan tujuannya bukan Amplop. Lha saya sudah punya gaji kok,” kenangnya sambil tersenyum.
Hampir 60 tahun berdakwah, telah lebih seribu orang yang diajaknya untuk masuk Islam. Saat ini, dia memiliki 18 anak didik yang mengikuti jejaknya menjadi penceramah. Ditengah keterbatasannya turun langsung, dia hanya mampu memberi pengarahan pada anak didiknya, bagaimana tampil dihadapan majelis dakwah, membimbing dan menuntun kejalan Allah.
Sepekan menjelang Hari Raya Idul Adha, satu pesan menarik yang disampaikan Pak Nasution. Menurutnya, berkorban tidak hanya dengan harta benda. Melainkan berkorban dengan hati untuk mau menjalankan agama dengan ikhlas, benar dan sesuai tuntunan.
Berkurban hewan, seyogyanya dilakukan bagi umat Islam yang telah mampu. “Jika seseorang mampu, namun tidak ada niat untuk berkurban, maka berdosalah orang itu,” tegasnya menyitir sebuah ayat. “Inna A’thoina Kal Kautsar, Fasholli Lirobbika Wanhar …”(Sesungguhnya kami telah memberi kepadamu nikmat yang banyak. Maka Tunaikan Sholat dan Berkorbanlah…Al-Kautsar 1-2).(yeniti darma)

Drs Sahmin Batubara , Berkorban Haruslah Ikhlas………


BERBICARA dengan Uztadz Sahmin Batubara (46) ini sangat menyejukkan hati. Selain ramah orangnya mudah akrab dan semua jawaban mengalir lancar. Begitulah kesan pertama ketika Media Jambi bertandang kerumahnya di daerah Simpang Pulai Kota Jambi, Minggu (14/11). Dengan lancar dan bahasa yang santun dia menjawab semua pertanyaan termasuk tentang makna berkurban ditengah bencana yang banyak melanda Indonesia saat ini.

Menurut pria kelahiran Kota Nopan Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara 1964 silam ini, nilai berkorban sangat besar artinya. Terutama membantu saudara-saudara kita yang sedang kesusahan. Dicontohkannya pada korban bencana tsunami, gempa maupun tanah longsor yang banyak terjadi saat ini. “Memang kurban berlaku bagi orang Islam yang mampu. Seperti tertuang nyata dalam Surat Al Kautsar. Kandungan pokok isi surah ini adalah perintah melaksanakan sholat dan berkorban. Semata-mata mengharap ridho Allah. Apalagi, ditengah banyaknya kenikmatan yang kita terima,” jelasnya.

“Tapi kuncinya ikhlas dan bukan pamer agar dianggap orang mampu, tanda kutip ya, tapi bukan artinya semua orang seperti itu,” katanya berhati-hati. Kunci ibadah kurban, lanjutnya—adalah ikhlas. Karena keikhlasan itu pulalah, Nabi Ismail tidak jadi disembelih oleh ayahnya, Nabi Ibrahim. Sebaliknya, Allah menggantinya dengan seekor qibas atau kambing.

Jika kurban diwajibkan bagi orang yang mampu, lain halnya hukum membantu sesama yang sedang ditimpa kesusahan. “Itu wajib,” tegas ayah Rahmalina Batubara (17), Nur Muhammad Batubara (13), Hamid Muhammad Zuhal (12) dan Zahrodina (8) ini.

Diakuinya, masih ada pemahaman sebagian umat Islam bahwa dengan berkurban, maka hewan kurban akan membantu kita dan menjadi kendaraan kelak di akhirat. “Disamping itu, kita harus ingat anjuran Allah SWT. Tentang hablum Minannas dan Hablum Minallah. Kedua makna ini terkandung erat dalam ibadah kurban,” tambahnya.

Bakat ceramah
Terlahir sebagai anak keempat dari enam bersaudara pasangan Djamarlael Batubara (Alm) dan Salmiah Lubis (85), Sahmin sudah menunjukkan bakat sebagai penceramah sejak kecil. Apalagi, ketika seniornya Haviz (kini ulama besar di Medan) terus memberi motivasi agar bakat ini terus dikembangkan.

“Sekarang bang Haviz sudah menjadi ulama besar di Medan dan memiliki pesantren sendiri,” kenang Sahmin. Dalam bimbingan Havizlah, ketika masih di Madrasah Aliyah Musthofawiyah Purba Baru, Ia beberapa kali ikut dan memenangkan lomba pidato se-Provinsi Sumatera Utara untuk tingkat SLTA.

Prestasi sekolahnyapun cukup membanggakan. Di Tahun 1984, dia lulus dari Madrasah Aliyah mendapat ranking ke tujuh dari 1.200 murid MA Purba Baru. Yang menjadi persoalan ketika akan melanjutkan sekolah, Sahmin terbentur kepada kondisi orangtua yang tidak memungkinkan Ia bisa melanjutkan kuliah. “Ayah hanya berkata, sekarang kau sudah punya sayap terbanglah kemana mau pergi dan jadilah orang yang berguna,” kata suami Darlena (38) ini.

Berbekal uang Rp 60 ribu, dia berangkat ke Kota Jambi dan mendaftar di IAIN Sultan Thaha Syaifudin (STS) Jambi. Dengan bekal ilmu di pesantren, dia menghidupi diri dan membiayai kuliahnya dan tahun 1990 mendapat gelar S1 jurusan dakwah. “Saya juga pernah sambil kuliah mengajar ngaji anak-anak Prof H Sulaiman Abdullah – Ketua MUI Provinsi Jambi dan mantan Rektor IAIN STS Jambi-- dan disitulah hikmahnya saya banyak mendapatkan ilmu dari bapak Sulaiman. “Sambil mengajar mengaji saya juga banyak kesempatan belajar langsung dengan beliau,” ujarnya . Setamat S1, Sahmin sempat empat kali gagal mendaftar sebagai dosen di IAIN, tapi nasib mujur masih karena akhirnya lulus sebagai PNS dan mengajar di fakultas Ushuluddin tahun 1984 lalu.

“Pak Sulaiman rajin membaca dan memiliki banyak buku bacaan,” ujarnya bercerita. Dari sini pula, dia banyak mendapat kesempatan membaca berbagai referensi buku tentang Islam sambil belajar. Belajar dan terus belajar. Begitu prinsip yang diyakininya hingga kini. Sambil mengajar di IAIN STS dan STI Ma’arif, Sahmin melanjutkan kuliah S2 hingga mendapat gelar Magister Hukum Islam (MHI).

Saat ini, dia sedang melanjutkan kuliah S3 di UIN Jogyakarta dan tetap mengambil jurusan yang sama Hukum Islam. Disamping aktif sebagai Ketua Himpunan Seni Budaya Islam Provinsi Jambi (Hisbi) ini. “Sebagai seorang penceramah, haruslah mau mendengar melihat dan membaca, dan terus belajar” tukasnya mengakhiri bincang-bincang. (Novelwan Hutabarat)

Senin, 08 November 2010

Eva Bramantif Putra


Meniti Hingga
Puncak Mahligai
WAJAHNYA kerap tersenyum ramah. Tutur sapa yang santun membuat suasana akrab cepat tercipta. Siapa sangka, dibalik penampilan sederhananya, pria muda ini memiliki potensi luar biasa. Eva Bramantif Putra (33) atau biasa dipanggil pak Eva—adalah pewaris, pawang sekaligus pelatih tari penuh magis dari Desa Mukai Tengah Kecamatan Siulak Kabupaten Kerinci, Tari Titian Mahligai. Ditemui Media Jambi diarena Festival Danau, Eva berdiri tenang diantara murid-muridnya. Mengenakan seragam silat berwarna hitam, kedua tangannya menggenggam erat sebilah pedang. Beberapa penari berbaju merah dengan rumbai dan manik-manik, berada disekitarnya tengah mempersiapkan diri tampil agenda tahunan Kabupaten Kerinci
Berbincang dengan Eva, Media Jambi mencoba menelusuri asal muasal tari Titian Mahligai. “Tari ini, dahulunya dimaksudkan sebagai ujian sebelum seseorang sampai pada tahap dan kesaktian tertinggi. Karenanya disebut Tari Titian Mahligai, meniti hingga puncai Mahligai” ujar Eva mengawali bincang-bincang.
Ratusan tahun lalu, Titian Mahligai adalah ajang menguji seseorang sebelum dinobatkan menjadi pemimpin. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dan kesaktian tinggi untuk mengayomi rakyatnya. “Jika berhasil melewati ujian, barulah dinobatkan sebagai pemimpin bagi rakyatnya,” lanjut Eva yang mengajar tari di Sanggar Tari Peduli Seni Budaya Kerinci ini.
Seiring berjalannya waktu, Titian Mahligai tetap diwariskan secara turun temurun. Namun mengalami reduksi hingga menjadi tari menghibur. Namun didalamnya, seorang penari yang diibaratkan orang yang akan menjadi pemimpin harus mampu melewati ujian. Layaknya dilakukan oleh orang-orang terdahulu.
Setidaknya, ada 60 penari yang tergabung di sanggar ini. Namun hanya empat penari yang bisa membawa tarian dan melewati semua ujian. Banyak tantangan, persiapan dan “nasib” yang harus dilalui seorang penari hingga lulus.
“Kadang ada yang mentalnya belum siap. Namun yang jelas, orang yang darahnya sama atau satu keturunan dengan pembawa tari inilah yang bisa sampai pada ujian terakhir,” ujar Eva yang mengaku memperoleh kemampuan tari berdasarkan “tetuhun”—yaitu kemampuan yang datang sendiri karena garis keturunan.
Menurut Eva yang disambung dari keterangan leluhurnya, tari ini dibawa oleh Imam Bruji. Yaitu orang yang mereka yakini mula-mula datang ke Kerinci. Eva, yang kesehariannya berprofesi sebagai PNS dan mengajar di SDN 214/III Desa Koto Aro ini mengaku mendapat kemampuan langsung karena keturunan dari imam tersebut.
“Akhirnya, sejak 10 tahun lalu saya mulai mengajarkan tari ini. Kalau kamu lihat nanti, banyak yang unik pada tari ini,” tukas ayah dari Bela Azzuragita (14) dan M Gzahayatullah (4) ini.
Keunikan dimaksud, terletak pada musik penggiring yang disebut “Dap” menggunakan rebana. Lima ujian harus dilewati penari. Pertama menari diatas pecahan kaca (beling) yang tajam. Dilanjutkan menusuk perut penari dengan dua bilah pedang tanpa terluka. Ujian berikutnya, berjalan diatas telur yang diletakkan dalam sebuah mangkuk berisi pasir. Telur, tidak boleh pecah yang menandakan betapa ringannya tubuh penari.
Ujian selanjutnya, berjalan dan menari diatas paku dan bilah bambu yang telah diruncingkan. “Ujian terakhir, yaitu berjalan dan memadamkan bara api,” ujar Eva. Menurut pria kelahiran Desa Mukai Tengah, 2 Mei 1977 ini, ada kebanggaan tersendiri ketika bisa menghibur penonton dengan tari Titian Mahligai. Apalagi, tari ini telah dibawakan sanggarnya hingga luar daerah.
Sebut saja ke Jakarta, Bali bahkan hingga Malaysia. Dia dan kelompok sanggarnya, mengaku kerap diundang ke luar daerah untuk memperlihatkan tari yang sangat memukau ini. Eva, bahkan sangat bersyukur karena Pemerintah Kabupaten Kerinci sangat mendukung upaya pengembangan sanggar tarinya. Bahkan memberi kesempatan untuk tampil didaerah lain memperkenalkan Budaya Kerinci secara lebih luas.
(junaidi)

Minggu, 17 Oktober 2010

Situs Muaro Jambi Warisan Dunia


Agus Widiatmoko

GAYANYA supel, ramah dan enak diajak bicara. Apalagi ngomongin soal Situs Candi Muaro Jambi, informasi mengalir deras dari bibirnya. Dia adalah Agus Widiatmoko, arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi.
Pria kelahiran Kediri - Jawa Timur, 1 Agustus 1969 itu sangat mencintai budaya dan kebudayaan. Kecintaannya itu menjadi hobi yang menghantarkannya untuk serius menekuni dunia arkeologi di Jambi. Mantan mahasiswa Universitas Udayana itu melihat Provinsi Jambi memiliki kekayaan budaya dan alam yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia.
Hanya saja, kekayaan itu belum dikelola secara baik. Dirinya pun merasa terpanggil untuk mengangkat kembali nilai-nilai sejarah yang hidup di percandian Muaro Jambi ke mata internasional dan ikut mendorong terciptanya pengelolaan yang baik terhadap peninggalan sejarah Kerajaan Melayu Kuno dan Kerajaan Sriwijaya itu.
Harapan dia, Situs Candi Muaro Jambi benar-benar menjadi warisan dunia yang pada akhirnya akan memberikan efek positif bagi Provinsi Jambi dan Kabupaten Muaro Jambi. Selain itu, diharapkan juga memberi andil positif bagi peningkatan perekonomian masyarakat di sekitar kawasan bersejarah itu.
Berikut petikan wawancara singakat dengan Agus Widiatmoko, Kepala Pokja Dokumentasi dan Publikasi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jamb di Museum Negeri Jambi, Minggu (10/10) pagi.
Candi Muaro Jambi merupakan warisan dunia. Tanggapan anda !
Situs percandian Muaro Jambi sangat memenuhi kriteria sebagai warisan dunia. Satu saja dari 10 kriteria yang ditetapkan UNESCO, sudah bisa dikatakan sebagai warisan dunia.Khusus candi Muaro Jambi, ada tiga yang terpenuhi, yakni sebagai warisan dunia harus dibuktikan bahwa percandian tersebut membuktikan adanya peradaban-peradaban yang hidup dizamannya. Kemudian, percandian mempunyai nilai-nilai asitektur, teknologi dan landscape(tata guna lahan). Terakhir, adanya pertukaran budaya.
Keberadaan percandian dengan segala peninggalan sejarah didalamnya membukti bahwa diabad 7 – 14 hidup peradaban disana tepatnya pada zaman Kerajaan Melayu dan Sriwijaya. Dari sisi arsitektur, teknologi dan tata guna lahan terlihat jelas dari bangunan-bangunan, arca dan sebagainya serta ada hubungan erat dengan kearifan dalam pengelolaan lingkungan.Kemudian disana juga terjadi pertukaran budaya cina, hindia, thailand dan lain-lainnya yang hidup disitus itu. Hal ini dapat dilihat dari arsitektur bangunan, arca-arca yang ditemukan dan banyak lagi.
Persiapannya bagaimana
Meskipun baru tahun 2007 situs candi muaro jambi masuk tentatif list (daftar urut) UNESCO ke 5465, namun persiapan menuju kesana sudah kita lakukan sejak tahun 2000-an bersama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi.
Diantaranya , pemetaan kawasan dan apa saja yang ada didalamnya. Pembinaan terhadap masyarakat dan regulasi dari pemerintah provinsi dan kabupaten dalam rangka melindungi kawasan tersebut.
Pembuatan masterplan situs muaro Jambi sudah dilakukan sejak 2006, pembuatan DED Wilayah I Percandian Muaro Jambi (2007), normalisasi jaringan kanal kuni (2007- sekarang). Kemudian menetapkan situs sebagai kawasan cagar budaya dalam rencana tata ruang provinsi dan kabupaten serta penguatan lain guna mendukung situs tersebut sebagai warisan dunia.
Kita juga menerapkan 3 S yakni smile, service dan satisfied. Kita sambut mereka dengan keramahan, berikan pelayanan terbaik sehingga mereka yang datang ke situs muaro Jambi merasa puas dan punya kesan sehingga mereka mau datang kembali.
Selain candi, kabarnya Jambi punya geofak ?
Benar. Selain candi, Jambi juga memiliki kekayaan alam yang nilainya cukup tinggi yakni geofak di Merangin. Berdasarkan hasil kegiatan pemetaan dan penelitian belum lama ini, teridentifikasi potensi geodiversity di daerah aliran sungai Merangin Kecamatan Sungai Manau.
Potensi geodiversity berupa flora dan fauna berumur 250 – 290 juta tahun lalu atau tepatnya pada zaman perem atas sampai jura awal. Fosil flora yang ditemukan seperti tumbuhan yakni batang kayu dan daun-daunan. Sementara fosil fauna yakni binatang laut seperti moluska, ammonoit, fusulinit dan acolite.
Jadi, jangan dilihat situs itu hanya punya niai sejarah. Namun banyak multiefek yang dihasilkan bila dikelola secara baik. Dan ini akan mengangkat harkat dan martabat provinsi Jambi dimata nasional dan internasional. Disisi lain, masyarakat terbantu dalam meningkatkan pendapatan yang dilakukan dengan cara profesional dan ramah lingkungan.
Selain itu Jambi ini punya kekayaan yang tak ternilai harganya. Kita punya kekayaan budaya juga alam. Seharusnya masyarakat Jambi bangga akan hal itu. Mari bersama-sama menjaganya. (gtt)

PR yang Belum Selesai ...


Muhammad Antariksa, S.Pd

Puluhan sengketa lahan yang terjadi di Kabupaten Muarojambi menjadi catatan tersendiri bagi Muhammad Antariksa (37). Bahkan tak jarang, dia mengumpulkan banyak informasi dari berbagai sumber untuk memperoleh keterangan berimbang. Bagi Ketua Fraksi PAN DPRD Muarojambi ini, keberpihakan pada petani menjadi hal mutlak yang harus dilakukan.

Dua periode menjadi anggota dewan, membuat pria kelahiran Magelang, 15 April 1973 ini memahami betul, seluk beluk perjuangan para petani di Muarojambi memperoleh hak-hak kelola tanah. Apalagi, suami Lilis Suryani ini pernah menjadi transmigran Rimbo Bujang unit VII tahun 1977 hingga 1991, dan hidup sebagai petani hingga berkeluarga.

Bincang-bincang dengan ayah tiga anak inipun mengalir ringan. Sembari duduk di ruang BK Muarojambi, mas Antariksa—demikian dia biasa disapa bercerita seputar peran dan fungsi dewan. Baik dalam mengawal proses pembangunan hingga keseriusannya menyelesaikan konflik lahan. Ditengah pembicaraan, terungkap bahwa masih ada satu PR yang hingga kini belum diselesaikannya. Apa dan bagaimana sepak terjang Antariksa menjalani hari-hari sebagai anggota dewan? Berikut bincang-bincang Media Jambi dengannya, Jum’at (8/10).

Seperti apa Anda sebagai anggota dewan mengawal pembangunan ?
Kita mengawal mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Apakah sesuai prioritas pembangunan atau belum. Karena di Muarojambi ini, ada dua prioritas utama yang harus diperhatikan. Yaitu infrastruktur sebagai nadi perekonomian. Serta penataan wilayah. Terutama yang berkenaan dengan banyak sengketa lahan yang terjadi di tengah masyarakat.

Apakah Anda melihat keberadan dewan sudah efektif ?
Selama ini sudah cukup efektif. Terlihat dari beberapa kemajuan yang dicapai kabupaten beberapa waktu terakhir. Walaupun terkadang ada anggota dewan yang memaksa usulannya masuk dalam program pemerintah. Bisa jadi, karena mereka berasal dari dapil sana. Padahal usulan itu belum masuk dalam prioritas. Namun itu semua warna di dewan yang memberi banyak pemikiran dan masukan bagi pembangunan.

Tentang sengketa lahan, apakah sudah serius penyelesaiannya ?
Belum optimal. Jika alasan sulitnya penyelesaian karena terbatasnya kewenangan, setiap orang pasti punya keterbatasan. Tapi yang dimana terbatasnya? Ditengah keterbatasan itu, sesungguhnya harus ada dedikasi dan keberanian. Baik dari kepala daerah maupun legislatif. Apalagi, ada hak preogratif kepala daerah untuk memutuskan suatu hal. Kami sudah terus menggulirkan tentang sengketa lahan di tiap kesempatan dan paripurna. Bahkan, Fraksi PAN pernah dijuluki Fraksi 178. Karena tidak pernah lepas membicarakan nasib yang menimpa 178 transmigran Mingkung Jaya yang hingga hari ini masih terlantar.

Ketika kampanye, apa “jualan” anda pada konstituen ?
Selama dua periode menjadi anggota dewan, tiga hal yang menjadi fokus saya di dewan. Yaitu infrastruktur, Alhamdulillah sudah mengalami kemajuan. Walaupun harus diakui, banyak kerusakan di sana-sini. Kedua, layanan publik menyangkut pemekaran desa dan kecamatan. Juga sudah terjadi pemekaran tiga desa di Sungai Gelam. Dan pemekaran kecamatan Sungai Bahar. Fokus ketiga, penyelesaian sengketa lahan. Nah, ini PR yang hingga kini belum selesai. Walaupun sudah digulirkan sejak tahun 2004 lalu. Dan akan terus saya dengungkan di tiap kesempatan.

Bagaimana keberpihakan Pemerintah terhadap warga dalam sengketa lahan ?
Jawabannya saya kasih contoh. Untuk kasus Pasar Sungai Bahar, Pemerintah berani membawa kasus pedagang yang membuka segel pada aparat kepolisian. Kenapa tidak dilakukan hal yang sama pada perusahaan yang nyata-nyata mengabaikan hak petani. Bahkan menyerobot lahan petani untuk kepentingan perusahaan. Jika dengan warga berani, seharusnya dengan pemerintah juga harus berani dong...

Anda sendiri sebagai anggota dewan, apa tindakannya ?
Dengan tugas pokok dan fungsinya, kita sudah coba beberapa cara. Mediasi, pengumpulan data hingga membahas di Sidang Paripurna. Lagi-lagi, bola panas ada di tangan bupati. Seperti saya katakan tadi, harus ada dedikasi dan keberanian untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Jika memang tidak ada jalan penyelesaiannya, beri penjelasan dan kepastian pada masyarakat. Agar mereka tidak lagi berharap. Tidak lagi menanti sekian tahun tanpa kepastian. (junaidi)

Rabu, 29 September 2010

Bahagia Menjadi Nominator Mitra SP Teladan


NUR Abdullah (56) tidak pernah menyangka, akan terpilih menjadi satu dari lima nominator mitra teladan Sensus Penduduk 2010 se Indonesia. Kepastian terpilih baru diperolehnya Jum’at siang (24/9) lalu. Diapun lantas diminta hadir di BPS Pusat, Senin ini untuk menerima penghargaan saat peringatan Hari Statistik.
Saat ditemui Media Jambi di kediaman Kabag TU BPS Provinsi Jambi, Aidil Adha— Pak Nur ditemani tiga mitra dan staf BPS Tebo. Dalam bincang-bincang malam itu, terungkap sebuah kebahagiaan. Bahwa Jambi bisa ikut ambil bagian menyumbangkan prestasi di tingkat Nasional.
Dari 33 Provinsi se Indonesia, lima provinsi terpilih mengirimkan mitra terbaiknya. Yaitu Syamsuri AR dari Kepulauan Riau, Aas Gaskasir dari Ciamis Jawa Barat, Soekirman dari Grobogan Jawa Tengah, Ismadi dari Ponorogo Jawa Timur dan terakhir Nur Abdullah dari Tebo Provinsi Jambi.
Mengenakan baju batik, pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah 7 Mei 1954 inipun bertutur banyak seputar aktivitasnya sehari-hari sebagai petani karet. Sekaligus Sekretaris Desa Rimbo Mulyo (unit 3) Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo.
Ternyata, kesibukan tidak membuat suami Indarti ini absen dalam tiap kegiatan BPS. Sebut saja Sensus Penduduk tahun 1980, 1990, 2000 dan 2010. pada SP terakhir, dia bahkan membawahi 27 petugas di tiga desa dalam sembilan kortim.
Diapun juga ikut ambil bagian dalam Survey Penduduk antar Sensus (Supas) tahun 1985, 1995 dan 2005. Kegiatan rutin Susenas dan Sakerjas setiap tahun sejak 1981. Sensus pertanian tahun 1983 dan sensus pertanian lanjutan tahun 1984. Sensus Ekonomi tahun 1986 dan 1987. Ditambah sensus Potensi Desa (Podes) dan cacah keuangan desa.
Banyak pengalaman baru yang diperolehnya. Terutama kemampuan menganalisa data sensus, survey maupun pencacahan. Seringkali, dia berusaha memahami hasil quesional yang telah diperolehnya.
Pada beberapa kegiatan, dia juga menghadapi banyak pertanyaan responden. Misalnya, untuk apa didata kembali. Apakah akan ada bantuan untuk mereka. Menghadapi pertanyaan seperti ini, Nur harus mampu menjelaskan secara gamblang agar tidak timbul kesalahpahaman.
Pada beberapa kasus, dia mengaku sulit memperoleh data yang akurat. Diantaranya data kriminalitas. “Paling susah mencari data kriminalitas. Hampir semua responden menutup-nutupi,” katanya. Persoalannya, banyak responden yang menganggap tindak kriminal yang dialami responden dianggap tidak perlu dipersoalkan. Untuk itu, terkadang Pak Nur mencari informasi dari tetangga sekitar.
“Nanti baru ada yang melapor, kalau dia baru kehilangan kerbau, atau getah. Ketika dikonfirmasi, dia tetap tidak mengaku. Atau mengatakan, yang sudah biarlah berlalu. Padahal ini penting untuk mengetahui tingkat kriminalitas di satu daerah,” katanya.
Ayah dari Dedi Munadi, Taufiq Hidayat, Tri Wibowo, si kembar Irawati dan Irmawati serta si bungsu Siti Muslimah inipun yakin, apa yang dilakukannya dapat membawa manfaat bagi diri, keluarga dan orang sekitarnya. “Yang terpenting, kita mau berbuat dengan ikhlas. Semua pasti ada hikmahnya,” ujar Nur yang ikut menjadi peserta transmigran pada 22 Desember 1976 lalu.(jun)