Rabu, 29 September 2010

Bahagia Menjadi Nominator Mitra SP Teladan


NUR Abdullah (56) tidak pernah menyangka, akan terpilih menjadi satu dari lima nominator mitra teladan Sensus Penduduk 2010 se Indonesia. Kepastian terpilih baru diperolehnya Jum’at siang (24/9) lalu. Diapun lantas diminta hadir di BPS Pusat, Senin ini untuk menerima penghargaan saat peringatan Hari Statistik.
Saat ditemui Media Jambi di kediaman Kabag TU BPS Provinsi Jambi, Aidil Adha— Pak Nur ditemani tiga mitra dan staf BPS Tebo. Dalam bincang-bincang malam itu, terungkap sebuah kebahagiaan. Bahwa Jambi bisa ikut ambil bagian menyumbangkan prestasi di tingkat Nasional.
Dari 33 Provinsi se Indonesia, lima provinsi terpilih mengirimkan mitra terbaiknya. Yaitu Syamsuri AR dari Kepulauan Riau, Aas Gaskasir dari Ciamis Jawa Barat, Soekirman dari Grobogan Jawa Tengah, Ismadi dari Ponorogo Jawa Timur dan terakhir Nur Abdullah dari Tebo Provinsi Jambi.
Mengenakan baju batik, pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah 7 Mei 1954 inipun bertutur banyak seputar aktivitasnya sehari-hari sebagai petani karet. Sekaligus Sekretaris Desa Rimbo Mulyo (unit 3) Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo.
Ternyata, kesibukan tidak membuat suami Indarti ini absen dalam tiap kegiatan BPS. Sebut saja Sensus Penduduk tahun 1980, 1990, 2000 dan 2010. pada SP terakhir, dia bahkan membawahi 27 petugas di tiga desa dalam sembilan kortim.
Diapun juga ikut ambil bagian dalam Survey Penduduk antar Sensus (Supas) tahun 1985, 1995 dan 2005. Kegiatan rutin Susenas dan Sakerjas setiap tahun sejak 1981. Sensus pertanian tahun 1983 dan sensus pertanian lanjutan tahun 1984. Sensus Ekonomi tahun 1986 dan 1987. Ditambah sensus Potensi Desa (Podes) dan cacah keuangan desa.
Banyak pengalaman baru yang diperolehnya. Terutama kemampuan menganalisa data sensus, survey maupun pencacahan. Seringkali, dia berusaha memahami hasil quesional yang telah diperolehnya.
Pada beberapa kegiatan, dia juga menghadapi banyak pertanyaan responden. Misalnya, untuk apa didata kembali. Apakah akan ada bantuan untuk mereka. Menghadapi pertanyaan seperti ini, Nur harus mampu menjelaskan secara gamblang agar tidak timbul kesalahpahaman.
Pada beberapa kasus, dia mengaku sulit memperoleh data yang akurat. Diantaranya data kriminalitas. “Paling susah mencari data kriminalitas. Hampir semua responden menutup-nutupi,” katanya. Persoalannya, banyak responden yang menganggap tindak kriminal yang dialami responden dianggap tidak perlu dipersoalkan. Untuk itu, terkadang Pak Nur mencari informasi dari tetangga sekitar.
“Nanti baru ada yang melapor, kalau dia baru kehilangan kerbau, atau getah. Ketika dikonfirmasi, dia tetap tidak mengaku. Atau mengatakan, yang sudah biarlah berlalu. Padahal ini penting untuk mengetahui tingkat kriminalitas di satu daerah,” katanya.
Ayah dari Dedi Munadi, Taufiq Hidayat, Tri Wibowo, si kembar Irawati dan Irmawati serta si bungsu Siti Muslimah inipun yakin, apa yang dilakukannya dapat membawa manfaat bagi diri, keluarga dan orang sekitarnya. “Yang terpenting, kita mau berbuat dengan ikhlas. Semua pasti ada hikmahnya,” ujar Nur yang ikut menjadi peserta transmigran pada 22 Desember 1976 lalu.(jun)

Musri Nauli, SH


Keberpihakan pada Petani Masih Setengah Hati

KONFLIK berkepanjangan antara petani dan perusahaan pemegang konsesi menggelitik rasa kepedulian Musri Nauli (38). Aktivis Walhi Jambi ini melihat, kondisi petani semakin hari kian memprihatinkan. Banyak diantara petani yang tergolong petani gurem atau tidak memiliki lahan. Walaupun Jambi kaya akan sumber daya alam yang ada. Namun tidak serta merta dinikmati secara adil dan berkelanjutan ditengah masyarakat.
Pria kelahiran Jambi, 14 Januari 1972 juga melihat, pemerintah masih bersikap setengah hati melaksanakan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang jelas-jelas melindungi hak-hak adat masyarakat lokal. Ini terbukti dari mudahnya izin-izin pengelolaan hutan dikeluarkan. Sebut saja izin Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Produksi (HP), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan lain-lainnya yang tidak mengabaikan hak-hak adat masyarakat lokal.
Faktor-faktor inilah yang membuat ayah dari Wiliana Gita Putri, M Sadrah Putra, M Naulindo Putra dan M Lio terpacu adrenalinnya. Untuk senantiasa berada di barisan petani terutama urusan advokasi. Suami dari Erdewita Wati itu berharap, pemerintah menghormati hak-hak petani serta memberi kepastian hukum agar petani dapat hidup diatas lahannya yang kini dicaplok perusahaan.
Berikut wawancara singkat dengan Musri Nauli, SH di Sekretariat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Telanaipura Kota Jambi, Minggu (26/9).
Apa yang membuat anda tertarik membela petani?
Sudah banyak petani Jambi yang dirugikan akibat dikeluarkannya izin-izin pengusaan lahan untuk korporasi. Ini terjadi hampir merata di Provinsi Jambi, terutama di lima kabupaten yakni Batanghari, Muaro Jambi, Tebo, Tanjab Barat dan Tanjab Timur.
Banyak petani kehilangan lahan. Tidak sedikit pula yang harus berprofesi sebagai buruh tani diatas tanahnya sendiri. Pendapatan mereka menurun dan tidak cukup untuk menafkahi anak dan isteri mereka. Lebih parah lagi, mereka kerap dituding melakukan perambahan hutan, penyerobotan lahan perusahaan. Bahkan tidak sedikit pula yang ditangkap dan diintimidasi. Kasus terjadi akibat adanya kebijakan pemerintah sehingga kepentingn masyarakat termarjinalkan.
Maksud anda ?
Begini, UUPA yang menggantikan Agrarische Wet 1870 dengan prinsip domein verklaringnya menyatakan semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, tanah dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah belanda.
Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juga disebutkan, Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UUPA bersumber dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Karenanya, UUPA dikenal undang-undang payung (umbrella act) yang mengatur tentang agraria.
UUPA turut pula mengatur hukum adat. Luas maksimum-minimum hak atas tanah dan pembagian tanah kepada petani tak bertanah. Ketentuan ini biasa dikenal dengan landreform.
Anda menyinggung soal pemberian setengah hati ?
Ketidaksinkronan antara UUPA dengan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan menimbulkan benturan norma (konflik hukum/Conflict of Law). Ketentuan UU Kehutanan memunculkan sifat kepemilikan hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Lahirnya UUPA yang tidak dipatuhi pemangku negara, tepat dikatakan, sebagai pemberian setengah hati.
Lantas apa yang terjadi ?
Akibatnya, tahun 2009, Luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia 7.125.331 ha. Walhi mencatat, sejak tahun 2003 hingga semester pertama 2010, jumlah konflik sumber daya alam sebanyak 317 kasus. Sawit Watch mencatat lebih dari 630 konflik perkebunan kelapa sawit. Data BPN tahun 2008, konflik tanah di Indonesia mencapai 8.000-an. KPA tahun 2008 mencatat 1.753 konflik yang mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban.
Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah tidak berhasil meningkatkan kemakmuran. Kekayaan yang diraup Freeport dan kasus Lumpur Lapindo hanya sekedar contoh. Pendidikan dan kesehatan menjadi barang mahal. Pembangunan kemudian menciptakan kesengsaraan, tidak mengakui kepemilikan masyarakat adat, rusaknya pranata sosial dan berbagai konflik yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Penghormatan terhadap hukum adat dikalahkan dengan hukum nasional. Konflik sumber daya alam menyebabkan berbagai persoalan yang sampai sekarang tidak jelas arah penyelesaiannya.
Tentu saja perdebatan melaksanakan UUPA atau revisi menjadi wacana yang tidak relevan lagi diperbincangkan. Yang menjadi pokok perhatian, bagaimana amanat konstitusi ketentuan pasal 33 UUD 1945 harus dilaksanakan.(gtt)

Senin, 20 September 2010

Ingin Mengembalikan Kejayaan Islam…


Agus Setyawan, SE.Ak


HANYA sedikit orang yang mengenal istilah Hizbut Tahrir. Padahal di Provinsi Jambi, beberapa masjid pada sholat Jum’at selalu diwarnai selebaran bulettin Al-Islam untuk jamaahnya. Sekilas, orang akan memandang HT sebatas organisasi kemasyarakatan layaknya Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah atau Front Pembebasan Islam (FPI). Siapa nyana, HT ternyata Partai Politik yang secara leksikal berarti Partai Pembebasan.

Cita-cita HT boleh jadi dianggap “aneh” oleh sebagian orang. Apalagi, kerap terjadi kesalah pahaman bahwa HT ingin mendirikan negara baru. Fenomena ini dijawab lugas Agus Setyawan, SE.Ak, yang bergabung sebagai Sekretaris sekaligus Humas DPD Hizbut Tahrir Provinsi Jambi dalam bincang-bincang dengan Media Jambi.

Dibalik bicaranya yang tegas dan bersemangat, terselip keinginan mulia. Pun ditengah kesibukannya sebagai Auditor BPK RI Perwakilan Jambi, Agus masih menyempatkan waktu mengisi pengajian dan diskusi publik. Apa, siapa dan bagaimana HT di Indonesia maupun provinsi Jambi ? berikut petikan wawancara dengan Agus Setyawan di kediamannya, Lorong Arizona Mayang Kota Jambi, Kamis malam (16/9) lalu.

Perkumpulan apa Hizbut Tahrir itu ?
Sebenarnya, Hizbut Tahrir (HT) adalah partai politik yang bercita-cita menerapkan Syariat Islam secara kaffah di Indonesia dan seluruh dunia. Secara leksikal, HT berarti Partai Pembebasan. Sebagai parpol tentu memiliki visi dan misi tertentu. Hanya saja, basis ideologis HT tidak diakomodir UU Parpol di Indonesia. Sehingga HT tidak ambil bagian dalam kancah perpolitikan di Indonesia.

Menurut HT, bagaimana sistem perpolitikan saat ini ?
Kita masih menganut demokrasi berlandaskan trias politika. Dimana hukum dibentuk lembaga negara. Ada banyak kelemahan pada sistem tersebut. Karenanya, kita melakukan kampanye secara masif untuk menjelaskan ajaran Islam yang utuh hingga tiap aktivitas masyarakat dan negara. Melalui rekrutmen, mengisi pengajian, Diskusi langsung, menerbitkan brosur, booklet, bulletin Al-Islam tiap Jum’at yang disebar di Masjid-masjid. Serta majalah dua bulanan yang diterbitkan serentak diseluruh Indonesia.

Apa bukan berarti HT ingin mendirikan negara baru ?
Inilah yang sering disalah artikan. Untuk membentuk tatanan masyarakat berlandaskan Islam, dibutuhan perangkat lain. Misal untuk melaksanakan hukuman bagi pezina yaitu hukum Rajam atau Qisas. Nah, bagaimana proses menghukum dan siapa yang melakukannya?. Tentu dibutuhkan saksi, pengadilan, hakim. Yang semuanya harus dibentuk oleh negara. Atau ketika negara menghadapi bahaya perang, siapa yang dapat menggerakkannya, tentu pemimpin.

Apa artinya semua itu ?

Artinya, khilafah (kepemimpinan) hanyalah perantaraan yang “harus terbentuk” jika memang semua masyarakat menginginkan lahirnya sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam. Karena itu, kampanye yang kami lakukan lebih pada perubahan pemikiran ditengah masyarakat untuk bersama-sama memiliki keinginan yang kuat kembali pada ajaran Islam berlandaskan Al-qur’an, Sunnah dan Ijma ulama.

Apa dasar pemikiran HT ?
Kita ingat, kejayaan Khilafah Utsmaniyah tahun 1400 menguasai hampir seluruh Eropa. Ketika itu, orang akan tertawa jika ingin mengalahkan Islam. Namun sedikit demi sedikit selama 400 tahun terjadi perubahan. Satu persatu daerah Islam berjatuhan. Demikian pula kami. Memang, hasil yang akan kami nikmati bukan sekarang. Mungkin 50, bahkan 500 tahun. Namun jika tidak ada yang memulai, tidak akan ada hasil yang diharapkan.

Bagaimana tanggapan masyarakat, tokoh ulama dan tokoh adat di Jambi ?
Kedatangan kami masih disambut kok, bukan disambit (sambil tertawa). Sejujurnya, secara pribadi mereka setuju untuk menerapkan syariat dan hukum Islam dalam secara utuh. Namun masih ragu, jika ditanya tentang Khilafah (kepemimpinan) Islamiyah.

Apa harapan Anda?
Banyak yang tertawa. Zaman gini, kok cita-cita berharap pahala. Namun adanya keinginan pada tujuan perjuanganlah yang membuat kami bertahan. Untuk mengukurnya, siapa diantara kami yang paling lama bertahan, dialah yang memiliki cita-cita kuat. Apalagi, tantangannya sangatlah berat.

Bukankah sudah ada ulama, pencemarah dan kyai yang melakukannya ?
Benar. Kami sangat memberi apresiasi pada mereka yang telah melakukan dakwah setiap saat. Namun ingat, Islam tidak sebatas ibadah ritual yang menyangkut sholat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Ada banyak tatanan dalam masyarakat, maupun pelaksanaan hukum pidana dan tata negara yang jauh dari ajaran Rasulullah Saw. Kita ingin, Islam sebagai sebuah Agama mampu berdiri tegak seperti dizaman Rasulullah, para sahabat atau khalifah sesudahnya. Insya Allah (jun)

Harus Pandai Membagi Waktu


Siti Hajir S Ag


KODRAT sebagai wanita ternyata tidak menghalangi Siti Hajir, S.Ag (38) melakoni tugasnya sebagai Lurah Simpang IV Sipin Kecamatan Telanaipura Kota Jambi. Di tengah kesibukan turun ke masyarakat, tugas sebagai ibu rumah tangga tidak disepelekan. Apalagi ditengah beragamnya tuntutan masyarakat untuk perbaikan kondisi fisik dan sosial ekonomi. Dia harus mampu menjembatani antara kebijakan pemerintah dan keinginan warganya secara arif.

Wanita kelahiran Pelawan, Sarolangun, 12 Februari 1972 ini juga memiliki tanggung jawab membina PKK dan majelis taklim di lingkungannya. Selain pelatihan keterampilan membuat kue, menjahit dan lain sebagainya.
Tentu bukan tugas mudah bagi isteri dari Drs. Ahmad Yasir ini. Apalagi, permasalahan warganya cukup pelik. Ada kiat tersendiri yang dimiliki ibu dari M. Umar Hasaliki (14), Umama Hasaliki (10), Amairdah Hasaliki (6). Yaitu pandai membagi waktu antara tugas keluarga dan tugasnya sebagai lurah. Berikut petikan wawancara singkat Media Jambi dengan Siti Hajir di kediamannya, Jalan Karya Maju RT 14 Kelurahan Simpang 4 Sipin, Minggu (19/9) pagi.

Pada reses Anggota DPRD Kota, banyak warga mengeluh. Mengapa?

Apa yang disampaikan benar adanya. Kondisi sepanjang Jalan Jalan KS Tubun hingga asrama tentara sungai kambang banyak yang rusak. Baru-baru ini, banjir juga melanda pemukiman warga. Salah satunya di Sungai Kambang. Sebagian gorong-gorong ada yang rusak berat, dan mengalami penyempitan. Tentunya butuh perhatian dan harus segera diperbaiki. Bila perlu dibuatkan box culvert. Sudah kita laporkan. Sebagian sudah ditangani. Sisanya mungkin dalam waktu dekat.
Untuk jalan lingkungan, sebagian besar sudah dibuat, Alhamudlillah, kondisinya masih baik.

Bagaimana Tanggapan Warga ?
Realisasi ini, bagi saya dan warga cukup menggembirakan. Dan lebih bersyukur lagi, tidak ada masalah dengan pengerjaannya. Warga sangat antusias terlibat didalam pengerjannya. Itu lah yang kita harapkan.
Saya selalu berupaya maksimal menjalin komunikasi dengan warga dan turun langsung ke mereka. Kadang kita dituntut kerja tak kenal waktu. Mau apalagi, ini kan bentuk tanggung jawab sebagai pelayan masyarakat.

Bagaimana anda membagi waktu untuk keluarga
Tugas sebagai pelayan masyarakat tentunya menyita waktu. Tapi bukan berarti saya mengabaikan kepentingan keluarga. Keluarga yang utama. Sebagai isteri, saya harus melayani suami dengan baik. Begitu juga anak-anak. Yang terpentingkan cara kita membagi waktu untuk itu.
Misalnya, disaat libur kerja, saya banyak menghabiskan waktu bersama suami dan anak-anak. Biasanya, seharian dirumah. Kadang jalan-jalan, entah itu ke mall atau tempat wisata. Masalah pendidikan anak-anak sangat saya perhatikan, terutama pendidikan agamanya. Untuk mengaji, saya sendiri yang mengajarkan. Saya ingin membekali anak-anak dengan agama. Agar kelak dewasa nanti menjadi anak yang soleh dan bermanfaat bagi banyak orang.

Apa harapan anda kedepan

Saya berada di kelurahan ini sejak 1999 sebagai Seklur. Terus menjadi Lurah sejak 2006 lalu hingga sekarang. Banyak hal yang sudah kami lakukan bersama. Namun ada satu ganjalan, yakni kesadaran warga akan kebersihan. Tanggung jawab ini tidak saja di pemerintah, masyarakat juga harus pro aktif.