Minggu, 14 November 2010

H Afiun Nasution : Ilmu Agama, Tongkat di Hari Tua


DARI kejauhan, terlihat sesosok lelaki tua tengah duduk santai di teras rumah. Sejak lima tahun lalu, dia menderita stroke hingga aktivitasnya menjadi sangat terbatas. H Afian Nasution (75), penceramah kondang yang digandrungi ibu-ibu dan majelis taklim ini, hanya mengisi hari tua dengan mengaji. Sambil mengajar anak didiknya untuk terus berdakwah di jalan Allah.
Pagi itu, Kamis (11/11), saat Media Jambi bertandang kerumahnya di kawasan Thehok Kota Jambi, wajah Pak Nasution—begitu dia biasa dipanggil masih terlihat cerah. Diusia senja, ingatannya masih sangat jelas. Suaranyapun masih terdengar lantang saat mengurai perjalanan hidupnya. Dari seorang anak kampung, hingga menjadi penceramah tenar di Jambi hingga provinsi tetangga.
Mengawali bincang-bincang, pria kelahiran Sumatera Utara 75 tahun silam ini mengaku, kesibukannya berdakwah membuat dia lupa menjaga kesehatan. Hingga akhirnya, dia harus menjalani hari tua dalam kondisi sakit. Bahkan untuk berdiri lamapun, dia mengaku tidak sanggup lagi.
“Karena asyik berdakwah kesana kemari, bapak sampai dak menghiraukan lagi kesehatan. Tapi Insya Allah, semua ini ada hikmahnya. Mengajarkan Bapak untuk terus bersyukur pada Allah,” terang suami dari Sri Sutari ini.
Layaknya seorang anak kampung, dia telah mendapat pendidikan agama sejak kecil dari kedua orang tuanya. Di pagi hari, dia bersekolah dasar, dilanjutkan sekolah di Madrasah pada sore hari. Walau bukan berasal dari keluarga pendakwah, namun rasa fanatik beragama telah ditanamkan sejak diri. “Kata orang tua saya, ilmu agama itulah tongkat kita jika sudah tua nanti,” pesannya.
Diwaktu muda, dia telah mulai memberi ceramah di masjid-masjid sekitar rumah di kampungnya. Setelah menyelesaikan Sekolah Guru Atas tahun 1956 di Medan, dia merantau ke Kota Jambi. Panggilan hati untuk berdakwah ternyata diteruskannya di Jambi. “Sudah panggilan hati bapak, untuk berdakwah sampai tua,” sambung ayah empat anak ini.
Cita-citanyapun menjadi kenyataan. Tidak hanya di Kota Jambi. Dia bahkan sering diundang ke Kerinci, Palembang hingga Padang, Sumatera Barat. Berkecimpung di dunia pendidikan juga telah dilakoninya. Sebut saja, Kepala SMP Bngko tahun 1958, Kepala SMP Muarosabak, Kepala SMPN4 Kota Jambi tahun 1969 dan Pegawai di Departemen P&K Kota tahun 1974. Tahun 1977, dia juga pernah bekerja di Kantor Departemen Agama Kota Madya. Dilanjutkan menjadi pengawas SMA di Provinsi Jambi tahun 1982. “Baru tahun 1996 lalu saya pensiun. Sekarang tinggal menikmati buah dari masa muda lalu,” ungkap ayah Evi Herman, Asniati, Rahmawati dan Hardiani ini.
Asam garam pengalaman dan suka duka berdakwah telah dirasakannya. Satu prinsip yang sangat dipegang teguh, mencari rezeki meskipun kecil, yang terpenting halal. “Insya Allah, apa yang didapat akan menjadi baik bagi keluarga,” imbuhnya.
Bahkan sering, dia harus menempuh perjalanan jauh ketika diundang berceramah. Walau demikian, dia tetap harus memenuhi undangan, dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan agama yang dimilikinya. Pernah suatu hari, dia diundang untuk memberi ceramah. Karena dia tidak pernah meminta uang atas ceramahnya, dia justru diberi amplop. Naasnya, amplop yang diterima ternyata kosong. “Seperti itu dianggap romantika dakwah. Kan tujuannya bukan Amplop. Lha saya sudah punya gaji kok,” kenangnya sambil tersenyum.
Hampir 60 tahun berdakwah, telah lebih seribu orang yang diajaknya untuk masuk Islam. Saat ini, dia memiliki 18 anak didik yang mengikuti jejaknya menjadi penceramah. Ditengah keterbatasannya turun langsung, dia hanya mampu memberi pengarahan pada anak didiknya, bagaimana tampil dihadapan majelis dakwah, membimbing dan menuntun kejalan Allah.
Sepekan menjelang Hari Raya Idul Adha, satu pesan menarik yang disampaikan Pak Nasution. Menurutnya, berkorban tidak hanya dengan harta benda. Melainkan berkorban dengan hati untuk mau menjalankan agama dengan ikhlas, benar dan sesuai tuntunan.
Berkurban hewan, seyogyanya dilakukan bagi umat Islam yang telah mampu. “Jika seseorang mampu, namun tidak ada niat untuk berkurban, maka berdosalah orang itu,” tegasnya menyitir sebuah ayat. “Inna A’thoina Kal Kautsar, Fasholli Lirobbika Wanhar …”(Sesungguhnya kami telah memberi kepadamu nikmat yang banyak. Maka Tunaikan Sholat dan Berkorbanlah…Al-Kautsar 1-2).(yeniti darma)

Drs Sahmin Batubara , Berkorban Haruslah Ikhlas………


BERBICARA dengan Uztadz Sahmin Batubara (46) ini sangat menyejukkan hati. Selain ramah orangnya mudah akrab dan semua jawaban mengalir lancar. Begitulah kesan pertama ketika Media Jambi bertandang kerumahnya di daerah Simpang Pulai Kota Jambi, Minggu (14/11). Dengan lancar dan bahasa yang santun dia menjawab semua pertanyaan termasuk tentang makna berkurban ditengah bencana yang banyak melanda Indonesia saat ini.

Menurut pria kelahiran Kota Nopan Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara 1964 silam ini, nilai berkorban sangat besar artinya. Terutama membantu saudara-saudara kita yang sedang kesusahan. Dicontohkannya pada korban bencana tsunami, gempa maupun tanah longsor yang banyak terjadi saat ini. “Memang kurban berlaku bagi orang Islam yang mampu. Seperti tertuang nyata dalam Surat Al Kautsar. Kandungan pokok isi surah ini adalah perintah melaksanakan sholat dan berkorban. Semata-mata mengharap ridho Allah. Apalagi, ditengah banyaknya kenikmatan yang kita terima,” jelasnya.

“Tapi kuncinya ikhlas dan bukan pamer agar dianggap orang mampu, tanda kutip ya, tapi bukan artinya semua orang seperti itu,” katanya berhati-hati. Kunci ibadah kurban, lanjutnya—adalah ikhlas. Karena keikhlasan itu pulalah, Nabi Ismail tidak jadi disembelih oleh ayahnya, Nabi Ibrahim. Sebaliknya, Allah menggantinya dengan seekor qibas atau kambing.

Jika kurban diwajibkan bagi orang yang mampu, lain halnya hukum membantu sesama yang sedang ditimpa kesusahan. “Itu wajib,” tegas ayah Rahmalina Batubara (17), Nur Muhammad Batubara (13), Hamid Muhammad Zuhal (12) dan Zahrodina (8) ini.

Diakuinya, masih ada pemahaman sebagian umat Islam bahwa dengan berkurban, maka hewan kurban akan membantu kita dan menjadi kendaraan kelak di akhirat. “Disamping itu, kita harus ingat anjuran Allah SWT. Tentang hablum Minannas dan Hablum Minallah. Kedua makna ini terkandung erat dalam ibadah kurban,” tambahnya.

Bakat ceramah
Terlahir sebagai anak keempat dari enam bersaudara pasangan Djamarlael Batubara (Alm) dan Salmiah Lubis (85), Sahmin sudah menunjukkan bakat sebagai penceramah sejak kecil. Apalagi, ketika seniornya Haviz (kini ulama besar di Medan) terus memberi motivasi agar bakat ini terus dikembangkan.

“Sekarang bang Haviz sudah menjadi ulama besar di Medan dan memiliki pesantren sendiri,” kenang Sahmin. Dalam bimbingan Havizlah, ketika masih di Madrasah Aliyah Musthofawiyah Purba Baru, Ia beberapa kali ikut dan memenangkan lomba pidato se-Provinsi Sumatera Utara untuk tingkat SLTA.

Prestasi sekolahnyapun cukup membanggakan. Di Tahun 1984, dia lulus dari Madrasah Aliyah mendapat ranking ke tujuh dari 1.200 murid MA Purba Baru. Yang menjadi persoalan ketika akan melanjutkan sekolah, Sahmin terbentur kepada kondisi orangtua yang tidak memungkinkan Ia bisa melanjutkan kuliah. “Ayah hanya berkata, sekarang kau sudah punya sayap terbanglah kemana mau pergi dan jadilah orang yang berguna,” kata suami Darlena (38) ini.

Berbekal uang Rp 60 ribu, dia berangkat ke Kota Jambi dan mendaftar di IAIN Sultan Thaha Syaifudin (STS) Jambi. Dengan bekal ilmu di pesantren, dia menghidupi diri dan membiayai kuliahnya dan tahun 1990 mendapat gelar S1 jurusan dakwah. “Saya juga pernah sambil kuliah mengajar ngaji anak-anak Prof H Sulaiman Abdullah – Ketua MUI Provinsi Jambi dan mantan Rektor IAIN STS Jambi-- dan disitulah hikmahnya saya banyak mendapatkan ilmu dari bapak Sulaiman. “Sambil mengajar mengaji saya juga banyak kesempatan belajar langsung dengan beliau,” ujarnya . Setamat S1, Sahmin sempat empat kali gagal mendaftar sebagai dosen di IAIN, tapi nasib mujur masih karena akhirnya lulus sebagai PNS dan mengajar di fakultas Ushuluddin tahun 1984 lalu.

“Pak Sulaiman rajin membaca dan memiliki banyak buku bacaan,” ujarnya bercerita. Dari sini pula, dia banyak mendapat kesempatan membaca berbagai referensi buku tentang Islam sambil belajar. Belajar dan terus belajar. Begitu prinsip yang diyakininya hingga kini. Sambil mengajar di IAIN STS dan STI Ma’arif, Sahmin melanjutkan kuliah S2 hingga mendapat gelar Magister Hukum Islam (MHI).

Saat ini, dia sedang melanjutkan kuliah S3 di UIN Jogyakarta dan tetap mengambil jurusan yang sama Hukum Islam. Disamping aktif sebagai Ketua Himpunan Seni Budaya Islam Provinsi Jambi (Hisbi) ini. “Sebagai seorang penceramah, haruslah mau mendengar melihat dan membaca, dan terus belajar” tukasnya mengakhiri bincang-bincang. (Novelwan Hutabarat)

Senin, 08 November 2010

Eva Bramantif Putra


Meniti Hingga
Puncak Mahligai
WAJAHNYA kerap tersenyum ramah. Tutur sapa yang santun membuat suasana akrab cepat tercipta. Siapa sangka, dibalik penampilan sederhananya, pria muda ini memiliki potensi luar biasa. Eva Bramantif Putra (33) atau biasa dipanggil pak Eva—adalah pewaris, pawang sekaligus pelatih tari penuh magis dari Desa Mukai Tengah Kecamatan Siulak Kabupaten Kerinci, Tari Titian Mahligai. Ditemui Media Jambi diarena Festival Danau, Eva berdiri tenang diantara murid-muridnya. Mengenakan seragam silat berwarna hitam, kedua tangannya menggenggam erat sebilah pedang. Beberapa penari berbaju merah dengan rumbai dan manik-manik, berada disekitarnya tengah mempersiapkan diri tampil agenda tahunan Kabupaten Kerinci
Berbincang dengan Eva, Media Jambi mencoba menelusuri asal muasal tari Titian Mahligai. “Tari ini, dahulunya dimaksudkan sebagai ujian sebelum seseorang sampai pada tahap dan kesaktian tertinggi. Karenanya disebut Tari Titian Mahligai, meniti hingga puncai Mahligai” ujar Eva mengawali bincang-bincang.
Ratusan tahun lalu, Titian Mahligai adalah ajang menguji seseorang sebelum dinobatkan menjadi pemimpin. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dan kesaktian tinggi untuk mengayomi rakyatnya. “Jika berhasil melewati ujian, barulah dinobatkan sebagai pemimpin bagi rakyatnya,” lanjut Eva yang mengajar tari di Sanggar Tari Peduli Seni Budaya Kerinci ini.
Seiring berjalannya waktu, Titian Mahligai tetap diwariskan secara turun temurun. Namun mengalami reduksi hingga menjadi tari menghibur. Namun didalamnya, seorang penari yang diibaratkan orang yang akan menjadi pemimpin harus mampu melewati ujian. Layaknya dilakukan oleh orang-orang terdahulu.
Setidaknya, ada 60 penari yang tergabung di sanggar ini. Namun hanya empat penari yang bisa membawa tarian dan melewati semua ujian. Banyak tantangan, persiapan dan “nasib” yang harus dilalui seorang penari hingga lulus.
“Kadang ada yang mentalnya belum siap. Namun yang jelas, orang yang darahnya sama atau satu keturunan dengan pembawa tari inilah yang bisa sampai pada ujian terakhir,” ujar Eva yang mengaku memperoleh kemampuan tari berdasarkan “tetuhun”—yaitu kemampuan yang datang sendiri karena garis keturunan.
Menurut Eva yang disambung dari keterangan leluhurnya, tari ini dibawa oleh Imam Bruji. Yaitu orang yang mereka yakini mula-mula datang ke Kerinci. Eva, yang kesehariannya berprofesi sebagai PNS dan mengajar di SDN 214/III Desa Koto Aro ini mengaku mendapat kemampuan langsung karena keturunan dari imam tersebut.
“Akhirnya, sejak 10 tahun lalu saya mulai mengajarkan tari ini. Kalau kamu lihat nanti, banyak yang unik pada tari ini,” tukas ayah dari Bela Azzuragita (14) dan M Gzahayatullah (4) ini.
Keunikan dimaksud, terletak pada musik penggiring yang disebut “Dap” menggunakan rebana. Lima ujian harus dilewati penari. Pertama menari diatas pecahan kaca (beling) yang tajam. Dilanjutkan menusuk perut penari dengan dua bilah pedang tanpa terluka. Ujian berikutnya, berjalan diatas telur yang diletakkan dalam sebuah mangkuk berisi pasir. Telur, tidak boleh pecah yang menandakan betapa ringannya tubuh penari.
Ujian selanjutnya, berjalan dan menari diatas paku dan bilah bambu yang telah diruncingkan. “Ujian terakhir, yaitu berjalan dan memadamkan bara api,” ujar Eva. Menurut pria kelahiran Desa Mukai Tengah, 2 Mei 1977 ini, ada kebanggaan tersendiri ketika bisa menghibur penonton dengan tari Titian Mahligai. Apalagi, tari ini telah dibawakan sanggarnya hingga luar daerah.
Sebut saja ke Jakarta, Bali bahkan hingga Malaysia. Dia dan kelompok sanggarnya, mengaku kerap diundang ke luar daerah untuk memperlihatkan tari yang sangat memukau ini. Eva, bahkan sangat bersyukur karena Pemerintah Kabupaten Kerinci sangat mendukung upaya pengembangan sanggar tarinya. Bahkan memberi kesempatan untuk tampil didaerah lain memperkenalkan Budaya Kerinci secara lebih luas.
(junaidi)