Senin, 08 November 2010

Eva Bramantif Putra


Meniti Hingga
Puncak Mahligai
WAJAHNYA kerap tersenyum ramah. Tutur sapa yang santun membuat suasana akrab cepat tercipta. Siapa sangka, dibalik penampilan sederhananya, pria muda ini memiliki potensi luar biasa. Eva Bramantif Putra (33) atau biasa dipanggil pak Eva—adalah pewaris, pawang sekaligus pelatih tari penuh magis dari Desa Mukai Tengah Kecamatan Siulak Kabupaten Kerinci, Tari Titian Mahligai. Ditemui Media Jambi diarena Festival Danau, Eva berdiri tenang diantara murid-muridnya. Mengenakan seragam silat berwarna hitam, kedua tangannya menggenggam erat sebilah pedang. Beberapa penari berbaju merah dengan rumbai dan manik-manik, berada disekitarnya tengah mempersiapkan diri tampil agenda tahunan Kabupaten Kerinci
Berbincang dengan Eva, Media Jambi mencoba menelusuri asal muasal tari Titian Mahligai. “Tari ini, dahulunya dimaksudkan sebagai ujian sebelum seseorang sampai pada tahap dan kesaktian tertinggi. Karenanya disebut Tari Titian Mahligai, meniti hingga puncai Mahligai” ujar Eva mengawali bincang-bincang.
Ratusan tahun lalu, Titian Mahligai adalah ajang menguji seseorang sebelum dinobatkan menjadi pemimpin. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dan kesaktian tinggi untuk mengayomi rakyatnya. “Jika berhasil melewati ujian, barulah dinobatkan sebagai pemimpin bagi rakyatnya,” lanjut Eva yang mengajar tari di Sanggar Tari Peduli Seni Budaya Kerinci ini.
Seiring berjalannya waktu, Titian Mahligai tetap diwariskan secara turun temurun. Namun mengalami reduksi hingga menjadi tari menghibur. Namun didalamnya, seorang penari yang diibaratkan orang yang akan menjadi pemimpin harus mampu melewati ujian. Layaknya dilakukan oleh orang-orang terdahulu.
Setidaknya, ada 60 penari yang tergabung di sanggar ini. Namun hanya empat penari yang bisa membawa tarian dan melewati semua ujian. Banyak tantangan, persiapan dan “nasib” yang harus dilalui seorang penari hingga lulus.
“Kadang ada yang mentalnya belum siap. Namun yang jelas, orang yang darahnya sama atau satu keturunan dengan pembawa tari inilah yang bisa sampai pada ujian terakhir,” ujar Eva yang mengaku memperoleh kemampuan tari berdasarkan “tetuhun”—yaitu kemampuan yang datang sendiri karena garis keturunan.
Menurut Eva yang disambung dari keterangan leluhurnya, tari ini dibawa oleh Imam Bruji. Yaitu orang yang mereka yakini mula-mula datang ke Kerinci. Eva, yang kesehariannya berprofesi sebagai PNS dan mengajar di SDN 214/III Desa Koto Aro ini mengaku mendapat kemampuan langsung karena keturunan dari imam tersebut.
“Akhirnya, sejak 10 tahun lalu saya mulai mengajarkan tari ini. Kalau kamu lihat nanti, banyak yang unik pada tari ini,” tukas ayah dari Bela Azzuragita (14) dan M Gzahayatullah (4) ini.
Keunikan dimaksud, terletak pada musik penggiring yang disebut “Dap” menggunakan rebana. Lima ujian harus dilewati penari. Pertama menari diatas pecahan kaca (beling) yang tajam. Dilanjutkan menusuk perut penari dengan dua bilah pedang tanpa terluka. Ujian berikutnya, berjalan diatas telur yang diletakkan dalam sebuah mangkuk berisi pasir. Telur, tidak boleh pecah yang menandakan betapa ringannya tubuh penari.
Ujian selanjutnya, berjalan dan menari diatas paku dan bilah bambu yang telah diruncingkan. “Ujian terakhir, yaitu berjalan dan memadamkan bara api,” ujar Eva. Menurut pria kelahiran Desa Mukai Tengah, 2 Mei 1977 ini, ada kebanggaan tersendiri ketika bisa menghibur penonton dengan tari Titian Mahligai. Apalagi, tari ini telah dibawakan sanggarnya hingga luar daerah.
Sebut saja ke Jakarta, Bali bahkan hingga Malaysia. Dia dan kelompok sanggarnya, mengaku kerap diundang ke luar daerah untuk memperlihatkan tari yang sangat memukau ini. Eva, bahkan sangat bersyukur karena Pemerintah Kabupaten Kerinci sangat mendukung upaya pengembangan sanggar tarinya. Bahkan memberi kesempatan untuk tampil didaerah lain memperkenalkan Budaya Kerinci secara lebih luas.
(junaidi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar